Selasa, 16 April 2013

Tugas 3 Teori Politik 2013.1 UT




BAB 1
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang          
Kesadaran gender, merupakan kebangkitan pemikiran terhadap peranan perempuan dalam pembangunan. Berdasarkan fakta yang ada data statistik menunjukan bahwa jumlah perempuan jauh berlipat ganda populasinya dibandingkan pria. Namun kiprah yang yabg sesuai realita adalah masih sangat jauh dari presentasi perbandingan jumlah. Mengapa?  Jawabannya tidak lain adalah kesadaran terhadap gender yang masih jauh dari harapan atas peranan perempuan itu sendiri. Melihat fenomena ini tentu tidak semata-mata menyebut bahwa  peranan perempuan dalam pembangunan ini kurang apalagi tiada ada. Sejak zaman prasejarah perempuan telah memiliki peran strategis dalam perkembangan peradaban. Dari sejarah turunnya Adam ke bumi, perajalan para Rasul dan kisah kejayaan seorang raja yang memimpin imperium. Semua peristyiwa penting dalam sejarah perjalanan peradaban dunia, baik berskala besar maupun kecil atau hingga pada tingkat tatanan terendah sekalipun seperti desa atau kampung, perempuan selalu mempunyai peran. Namun dalam sejarah perjalan panjang tersebut perempuan selalu berada di belakang layar dan memotivasi adanya perubahan, apakah ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk. Dalam kisah beberapa kejadian penting selalu melibatkan perempuan hebat dalam perjalanan narasinya. Nabi Ibrahim as menjadi kuat karena ada Sarah dan Hajar. Fir’aun yang kejam berjaya karena ada perempuan kuat yaitu Asiah. Sedangkan Nabi Muhammad saw pun mampu merubah peradaban dunia dengan gerakan tauhidnya karena ada Khodijah yang menopang dan mendampinginya. Dalam kisah lain kejayaan Constantain pun tidak luput dari peran Cleopatra atas tampu kekuasaaanya di Romawi. Bahkan dalam pergerakan budaya sebagai penggiat civil society pu tak pelak dari peran perempuan dalam arah gerakannya.
2.      Tinjaun Masalah.
Peranan Perempuan khususnya di Indonesia dalam kehidupan sosial masih perlu peningkatan. Hal tersebut dilihat dari kesiapan para calon legislator yang kesulitan mencari caleg perempuan. Bahkan quota yang hanya 30% saja masih banyak kesulitan untuk memenuhinya.
3.      Rumusan Masalah
Dari problem tentang peran perempuan maka perlu ditilik dari beberapa sisi, yaitu :
a.      Menelaah peran positive perempuan dalam tatanan masyarakat beradab yaitu masyarakat madani atau dikenal juga dengsn istilah civil society.
b.      Dari perkembangan demokrasi, perempuan khusus di Indonesia masih perlu meningkatkan kesadarannya atas peran mereka di panggung politik.
c.       Dari representasi yang ada , tentu perempuan  mempunyai peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
 

BAB II
PEMBAHASAN.
A.     Topik bahasan
KPU: Tak Ada Pengecualian Syarat 30% Caleg Perempuan



Senin, 01 April 2013

Jakarta - Syarat kuota minimal 30% caleg perempuan untuk setiap daerah pemilihan sebenarnya bukan peraturan baru. Maka tidak ada alasan menghapuskannya dalam Pemilu 2014 mendatang. Partai politik yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, akan KPU jatuhi sanksi.

"Pengaturan tentang pencalonan perempuan, kami yakini sesuai Undang-undang pemilu, kita akan tetap seperti apa adanya," ujar anggota KPU Hadar Nafis Gumay di gedung KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2013).

Menurutnya, tersedia cukup waktu bagi parpol untuk merekrut bakal caleg perempuan. Kekurangan data administrasi yang ada pada saat DCS diserahkan, juga dapat disusulkan kemudian.

"Jadi kalau dalam pencalonan sampai masa kami memverifikasi, menginformasi kekurangan, dan perbaikan di akhir Mei, bila tidak memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan, tentu tidak memenuhi syarat," tegasnya. Lebih lanjut Hadar mengingatkan setiap parpol tidak membuang-buang waktu dengan mempermasalah sanksi yang dikenakan. Waktu yang ada justru harus dioptimalkan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
"Tapi persyaratan pencalonan tidak terpenuhi, kendati sudah ada kesempatan memperbaiki, tidak memenuhi syarat. Jadi DCT tidak ada bagi parpol yang tidak memenuhi syarat," ungkapnya.
Sementara itu, anggota KPU, Ida Budhiati menyebut Undang-undang telah menjamin aspek keterwakilan perempuan dalam politik. 
"Spirit jaminan perlindungan HAM dan hak perempuan diadopsi dalam norma hukum kita. Jadi tidak hanya lihat Undang-undang pemilu, tapi lihat saja lahirnya paket UU Politik," kata Ida.
Undang-undang yang diatur dalam peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 tentang pencalonan perempuan minimal 30 persen adalah merupakan wujud kesadaran para pembuat Undang-undang.
"Kewajiban atau larangan. Tapi dalam beberapa pasal tentang keterwakilan perempuan adalah kewajiban sehingga tidak terpenuhi artinya tidak memenuhi syarat," ujarnya.

B. Menelaah Peranan Perempuan dari sisi Civil Society.
Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya, untuk dapat tata masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya, untuk dapat mencapai masyarakat seperti itu, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, kontrol masyarakat dalam jalannya proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan masyarakat dalam memilih pimpinannya. Ciri dari peradaban yang mempunyai tarap sekelas civil society (masyarakat madani) adalah sebegi berikut :
1.      Free public sphere (ruang publik yang bebas)
2.      Demokratisasi
3.      Toleransi
4.      Pluralisme Sosial
5.      Keadilan Sosial (Social justice)
6.      Partisipasi sosial
7.      Supremasi hukum
Dari ciri-ciri tersebut untuk menjadikan telaahan dalam peran serta perempuan dalam sistem politik adalah demokratisasi, keadilan sosial, dan partisipasi. Dari sisi demokratisasi tentu terkait dengan proses pendemokrasian yang berkeadilan sosial dan menuntut partisipasi sosial perempuan itu sendiri. Dari angka suara perempuan yang dimaksud adalah peran serta suara yang masuk kepada caleg perempuan, yaitu sekitar 16 % dari total suara. Angka tersebut tentu stidak dapat dikatakan mewakili perempuan dalam  proses scaningnpartsiasipasi. Suara perempuan adalah suara perempuan itu sendiri dalam proses demokratisasi. Dimana perempuan mempunyai kebebasan untuk memilih sesuai dengan nuraninya tanpa ada paksaan atau pengaruh dari pihak lain.Jika yang menjadi tolak ukur adalah persentase pendatan kursi dalam PEMILU Legeslatif, maka angka itu masih dalam tahap kuantitas. Dimana standar partisipasi diukur dalam angka masih menjadikan polemik apakah keterwakilan perempuan akan membawa hasil positive dalam proses pembelajaran politik menuju masyarakat madani (civil society). Yang terpenting dalam proses partisipasi yang berkeadilan sosial adalah keberpihakan kebijakan kepada kepentingan perempuan secara kodrati maupun kiprah dan perannya dalam pembangunan. Disadari atau tidak perempuan mempunyai peran strategis dalam proses pembangunan dan berperadaban. Dalam ajaran islam dijelaskan bagaimana perempuan menjadi tulang punggung negara (hadits). Dari sisi fungsi tanpa partisipasi alamiah pun sudah tampak manfa’at positivenya. Hanya saja yang perlu ditakar adalah seberapa besar penghargaan bangsa ini terutama oleh kaum Adam terhadap peran strategis yang diperankan oleh wanita. Dalam pembangunan manusia seutuhnya yang berperadaban perempuan mempunyai empati yang tidak dimiliki oleh kaum Adam. Bahkan literatur islam banyak menuliskan tentang kekuatan wanita yang dapat merubah dunia, baik secara reformasi maupun revolusi. Dalam kiprahnya tanpa perempuan peradaban akan ambruk seperti banguna tnpa tiang penyangga. Perempuan dengan naluri keibuan akan jauh lebih sabar dalam mendidik anak dibandingkan kaum Adam. Perempuan akan mampu membesarkan anak tanpa lelaki disampingnya, sedang lelaki tidak mampu melakukan itu tanpa wanita disampingnya. Dari sisi pembangunan moral puan perempuan manjadi toalk ukur moral sebuah bangsa. Baik dan buruknya moral suatu bangsa akan dapat diukur dari moral perempuannya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana keberpihakan pkebijakan yang tidak diskriminatif kepada perempuan. Setiap warga negara memiliki posisi yang sama dari sisi hukum dan HAM bahkan dari kehidupan yang layak termasuk untuk mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi secara kodrati lelaki dan perempuan tidaklah sama. Dari kemampuan fisik dan kepekaan batin mempunyai keunggulan masing-masing. Secara kodrati perempuan mempunyai hak istirahat setiap bulannya. Maka istirahat bulanan tersebut juga adalah hak setiap perempuan, apakah poisis dia sebagai istri ataupun sebagai wanita karir. Dalam UU kepegawaian maupun perburuhan belum ada yang mengatur hak istirahat bulanan dalam rangka haid bagi wanita. Nah persoalan mendasar seperti tentu menjadi perhatian serius, tapi apakah sudah ada yang menyuarakan di gedung pas parlemen? Jawabannya masih belum ada. Pembelaan terhadap kaum perempuan masih sebatas kuantititas keterwakilan perempuan di parlemen dan presentasi jabatan politik seperti Kepala Daerah dan Birokrasi strategis. Dalam kenyataannya hak perempuan belum dibahas secara total., sehingga substansi tentang keperempuanan sebatas angka keterlibatan saja.
Banyak persoalan terkait quota 30% caleg perempuan setiap parpol. Di daerah yang sama caleg perempuan menjadi mutiara yang tak  berharga tapi tetap dikejar karena UU yang mengatur mewajibkan memenuhi quota tersebut. Anehnya keluhan kesulitan itu justru datang dari partai yang banyak menyuarakan emansipasi wanita. Sementara dari partai yang tidak getol menyuarakan seperti partai-partai berbasis islam hampir tidak ada yang mengeluh terkait penjaringan. Dari fenomena ini, menunjukan bahwa wacana keterwkilan perempuan hanya sekedar pepesan kosaong. Pihak yang menyuarakan tampak tidak siap dengan konsekuensinya. Sementara partai yang dalam gerakan akar rumputnya mapan cenderung terorganisir dan memiliki kemapanan dalam penjaringan. Meskipun ada sekularisasi dalam proses interksi sosial, ternyata sisi positive sekularisasi antara perempuan dan laki-laki ternyata membuat partisipasi perempuan manjadi lebih siap. Dalam ajaran islam fundamentalis sangat menghargai hijab bagi laki-laki dan permpuan. Sebagai contoh untuk memperhatikan hal-hal yang privasi bagi perempuan dalam pelayanan medis islam mewajibkan ada dokter laki-laki dan dokter perempuan di spesialisasi yang sama agar setiap pasien dapat dilayani dengan baik. Atau dalam komunitas pesantren fundamentalis Santriwati harus diajar oleh ustadzah dan santri harus diajar oleh ustadz. Aturan ini akan mengarah pada tanggung jawab laki-laki dan perempuan untuk menjadikan kewajiban individu untuk membekali diri dalam memenuhi kebutuhan sistemnya.
Nah dalam menyikapi partisipasi perempuan dalam demokratisasi perpolitikan Indonesia perlu dimulai dari ruang lingkup sosial yang kecil seperti sekolah/pesantren. Dalam sistem klasik telah memberikan ruang gerak yang besar dangan adanya sekularisasi gender. Dalam Sistem sosial modern yang membawa arus liberalisasi dimana tidak ada lagi pendikotomian antara laki-laki dan perempuan menjadikan perempuan sulit bergerak mengingat jumlah perempuan jauh lebih banyak dibanding laki-laki, statistik sosial menunjukan angka 1:5. Secara kodrati responden cenderang akan memilih lawan jenis yang menarik hatinya. Jika responden kebanyak perempuan maka yang terpiliha dalam penokohan kemungkinan besar adalah laki-laki. Dari hasil pengamatan saya justru penokohan wanita banyak disuarakan oleh laki-laki dan dipilih oleh laki-laki.
Dari pengamatan tersebut bahwa perilaku akan dominan dalam proses penokohan. Sehingga sangat wajar jika keterwakilan perempuan sangat minim, berdasarkan tingka laku para perempuan cenderung memilih lakji-laki dari berbagai kriteria, mulai kharismatik, kemampanan financial hingga ketampanan figur. Angka 16% suara perempuan yang diraih tidaklah murni dipilih perempuan. Dari angk tersebut masih kalah jauh dengan suara golput yang mencapai 20%.
Ada beberapa faktor dalam upaya mengejar quota 30% caleg perempuan, antara lain :
a.       Kemapanan financial,
b.      Kemandiriana dalam berinteraksi pada saat sosialisasi,
c.       Sikap dan mental dalam menghadapi gesekan politik baik dari eksternal maupu internal parpol.
Dalam Stratifikasi gender tentu persoalan di atas akan mudah ditangani jika kiprah perempuan dimulaui dari sekularisasi gender yang memaksa kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, termasuk peran fungsional yang harus dipenuhi.

C.     Optimalisasi Peran Perempuan dalam Demokratisasi di Indonesia
Disadari atau tidak bahwa komunitas perempuan adalah mayoritas. 80% penduduk indonesia adalah perempuan jika didasrkan kepada rasio 1:5 antara penduduk laki-laki dan perempuan. Dalam kenyataan kiprah perempuan tidaklah berimbang dengan persentasi jumlah pada populasi penduduk. Kesadaran dalam berpolitik sebagai bagian dari dunia sosial atas keterwakilan perempuan secara kuantitas (angka) maupun kualitas (substansi keperempuanan) tentu harus dapat direalisasikan oleh aksi nyata perempuan itu sendiri. Dalam penceraha menuju bangsa berperadaban tentu pembangunan tidak dapat dilakukan oleh laki-laki saja. Perempuan dengan peran strategisnya perlu mengambil peran. Ada hal-hal tertentu yang tidak akan terpikirkan oleh politisi laki-laki yang sulit untuk diaspirasikan.
Dalam Alqur’an sebagai kitab suci alqur’an begitu banyak ayat yang membahas tentang perempuan bahkan ada surat khusus yang membahas perempuan yang terkait dengan perintah bangkit sesuai dengan fungsi dan peran strategis dalam pembangunan, terutama menuju bangsa yang beradab menuju masyarakat madani (civil society). Kesadaran dalam berpolitik dan berdemokrasi harus dibangun sejak dini dengan menanam jiwa musyawarah dalam setiap kebijakan yang dimulai dari keluarga, lingkungan pendidikan dan akan berlanjut ke dunai sosialnya. Fenomena yang terjadi justru eksploitasi perempuan dengan pakaina serba minim dengan mengumbar aurat seperti model pada majalah-majalah yang tidak pantas, iklan seperti kendaraan mewah, hingga ekspolitasi wanita di atas panggung. Jika tradisi ini dpertahanakan maka ekspoitasi yang melanggar norma susila dan norma agama akan terus bergulir dan dianggap seni meski kenyataannya adalah daya tarik bagi para penggemarnya yang semuanya hanya diukur dari sisi bisnis saja.
Persoalan seperti di ats hanya dapat disuarakan oleh para perempuan yang lebih paham akan adab yang semestinya. Hak-hak perempuan seperti pra nikah dan pasca nikah/cerai masih harus diperjuangkan. Berapa banyak kaum hawa harus membesarkan anak dan mendidiknya yang semuanya berkonsekuensi anggaran/biaya dengan seorang diri tanpa ada perhatian dari mantan suaminy yang secara hukum baik hukum agama maupun negara mempunyai kewajiban yang tidak akan putus sampai anaknya dewasa. Persoalan sosial seperti ini, akan tepat sasaran jika pembuatan kebijakan disertai dengan perempuan pula. Meskipun perangkat hukum sudah ada, tapi kenyatannya fenomena seperti penelantaran anak oleh ayah bologisnya masih saja banyak terjadi.
Dalam realita seperti ini, peran wperempuan dalam panggung politik harus dioptimalkan agar terjadi keseimbangan dengan upaya optimalisasi hak-hak perempuan itu sendiri sacara glbal dan mendasar.


BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Peran serta perempuan dala percaturan politk dalam mewujudkan bangsa yang beradab sebagai proses demokratisasi harus mendapat perhatian serius. Keseriusan itu selain kesadaran gender yang disadari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) juga peran serta perempuan itu sendiri. Sebagai sasaran emansipasi, perempuan juga harus menjadi agen emansipasi yang menjadi motor atas perubahan damal proses demokratisasi.

B.   SARAN
Saran pembuat tugas adalah adanya pembelajaran politk bagi perempuan sekaligus pemberdayaan yang optimal demi terwujud masyarakat madani (civil society) yang berdasarkan Pancasila. Dalam kehidupan yang penuh dinamika dan rawan terjadinya distosrsi sosial sebagai dampak dari globalisasi, maka perempuan dengan populasi yang menacapai 80% tentu mempunyai peranan yang tidak kecil. Masyarakat madani (sivil society) adalah masyarakat yang mempuyai peradaban. Unsur-unsur peradaban diikat oelh norma, mulai norma hukum, adat, morarl hingga susila.

C.   DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar