BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Kesadaran gender,
merupakan kebangkitan pemikiran terhadap peranan perempuan dalam pembangunan.
Berdasarkan fakta yang ada data statistik menunjukan bahwa jumlah perempuan jauh
berlipat ganda populasinya dibandingkan pria. Namun kiprah yang yabg sesuai
realita adalah masih sangat jauh dari presentasi perbandingan jumlah.
Mengapa? Jawabannya tidak lain adalah
kesadaran terhadap gender yang masih jauh dari harapan atas peranan perempuan
itu sendiri. Melihat fenomena ini tentu tidak semata-mata menyebut bahwa peranan perempuan dalam pembangunan ini
kurang apalagi tiada ada. Sejak zaman prasejarah perempuan telah memiliki peran
strategis dalam perkembangan peradaban. Dari sejarah turunnya Adam ke bumi,
perajalan para Rasul dan kisah kejayaan seorang raja yang memimpin imperium.
Semua peristyiwa penting dalam sejarah perjalanan peradaban dunia, baik
berskala besar maupun kecil atau hingga pada tingkat tatanan terendah sekalipun
seperti desa atau kampung, perempuan selalu mempunyai peran. Namun dalam
sejarah perjalan panjang tersebut perempuan selalu berada di belakang layar dan
memotivasi adanya perubahan, apakah ke arah yang lebih baik atau ke arah yang
lebih buruk. Dalam kisah beberapa kejadian penting selalu melibatkan perempuan
hebat dalam perjalanan narasinya. Nabi Ibrahim as menjadi kuat karena ada Sarah
dan Hajar. Fir’aun yang kejam berjaya karena ada perempuan kuat yaitu Asiah.
Sedangkan Nabi Muhammad saw pun mampu merubah peradaban dunia dengan gerakan
tauhidnya karena ada Khodijah yang menopang dan mendampinginya. Dalam kisah
lain kejayaan Constantain pun tidak luput dari peran Cleopatra atas tampu
kekuasaaanya di Romawi. Bahkan dalam pergerakan budaya sebagai penggiat civil
society pu tak pelak dari peran perempuan dalam arah gerakannya.
2.
Tinjaun Masalah.
Peranan Perempuan khususnya di Indonesia dalam
kehidupan sosial masih perlu peningkatan. Hal tersebut dilihat dari kesiapan
para calon legislator yang kesulitan mencari caleg perempuan. Bahkan quota yang
hanya 30% saja masih banyak kesulitan untuk memenuhinya.
3.
Rumusan Masalah
Dari problem tentang peran perempuan
maka perlu ditilik dari beberapa sisi, yaitu :
a. Menelaah peran positive perempuan
dalam tatanan masyarakat beradab yaitu masyarakat madani atau dikenal juga
dengsn istilah civil society.
b. Dari perkembangan demokrasi,
perempuan khusus di Indonesia masih perlu meningkatkan kesadarannya atas peran
mereka di panggung politik.
c. Dari representasi yang ada , tentu
perempuan mempunyai peran yang tidak
bisa dipandang sebelah mata.
BAB II
PEMBAHASAN.
A.
Topik bahasan
KPU: Tak
Ada Pengecualian Syarat 30% Caleg Perempuan
|
Senin, 01
April 2013
|
Jakarta - Syarat kuota minimal 30% caleg
perempuan untuk setiap daerah pemilihan sebenarnya bukan peraturan baru. Maka
tidak ada alasan menghapuskannya dalam Pemilu 2014 mendatang. Partai politik
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, akan KPU jatuhi sanksi.
"Pengaturan tentang pencalonan perempuan, kami yakini
sesuai Undang-undang pemilu, kita akan tetap seperti apa adanya," ujar
anggota KPU Hadar Nafis Gumay di gedung KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat,
Senin (1/4/2013).
Menurutnya, tersedia cukup waktu bagi parpol untuk merekrut bakal caleg perempuan. Kekurangan data administrasi yang ada pada saat DCS diserahkan, juga dapat disusulkan kemudian.
"Jadi kalau dalam pencalonan sampai masa kami memverifikasi, menginformasi kekurangan, dan perbaikan di akhir Mei, bila tidak memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan, tentu tidak memenuhi syarat," tegasnya. Lebih lanjut Hadar mengingatkan setiap parpol tidak membuang-buang waktu dengan mempermasalah sanksi yang dikenakan. Waktu yang ada justru harus dioptimalkan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
"Tapi persyaratan pencalonan tidak terpenuhi, kendati sudah ada kesempatan memperbaiki, tidak memenuhi syarat. Jadi DCT tidak ada bagi parpol yang tidak memenuhi syarat," ungkapnya.
Menurutnya, tersedia cukup waktu bagi parpol untuk merekrut bakal caleg perempuan. Kekurangan data administrasi yang ada pada saat DCS diserahkan, juga dapat disusulkan kemudian.
"Jadi kalau dalam pencalonan sampai masa kami memverifikasi, menginformasi kekurangan, dan perbaikan di akhir Mei, bila tidak memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan, tentu tidak memenuhi syarat," tegasnya. Lebih lanjut Hadar mengingatkan setiap parpol tidak membuang-buang waktu dengan mempermasalah sanksi yang dikenakan. Waktu yang ada justru harus dioptimalkan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
"Tapi persyaratan pencalonan tidak terpenuhi, kendati sudah ada kesempatan memperbaiki, tidak memenuhi syarat. Jadi DCT tidak ada bagi parpol yang tidak memenuhi syarat," ungkapnya.
Sementara itu, anggota KPU, Ida Budhiati menyebut
Undang-undang telah menjamin aspek keterwakilan perempuan dalam politik.
"Spirit jaminan perlindungan HAM dan hak
perempuan diadopsi dalam norma hukum kita. Jadi tidak hanya lihat Undang-undang
pemilu, tapi lihat saja lahirnya paket UU Politik," kata Ida.
Undang-undang yang diatur dalam peraturan KPU nomor 7
tahun 2013 tentang pencalonan perempuan minimal 30 persen adalah merupakan
wujud kesadaran para pembuat Undang-undang.
"Kewajiban atau larangan. Tapi dalam beberapa
pasal tentang keterwakilan perempuan adalah kewajiban sehingga tidak terpenuhi
artinya tidak memenuhi syarat," ujarnya.
B. Menelaah Peranan Perempuan dari sisi Civil Society.
B. Menelaah Peranan Perempuan dari sisi Civil Society.
Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai suatu
masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya,
untuk dapat tata masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan
memaknai kehidupannya, untuk dapat mencapai masyarakat seperti itu, persyaratan
yang harus dipenuhi antara lain adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan bersama, kontrol masyarakat dalam jalannya proses
pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan masyarakat dalam memilih
pimpinannya. Ciri dari peradaban yang mempunyai tarap sekelas civil society
(masyarakat madani) adalah sebegi berikut :
1.
Free public sphere (ruang publik yang bebas)
2.
Demokratisasi
3.
Toleransi
4.
Pluralisme Sosial
5.
Keadilan Sosial (Social justice)
6.
Partisipasi sosial
7.
Supremasi hukum
Dari ciri-ciri tersebut untuk menjadikan
telaahan dalam peran serta perempuan dalam sistem politik adalah demokratisasi,
keadilan sosial, dan partisipasi. Dari sisi demokratisasi tentu terkait dengan
proses pendemokrasian yang berkeadilan sosial dan menuntut partisipasi sosial
perempuan itu sendiri. Dari angka suara perempuan yang dimaksud adalah peran
serta suara yang masuk kepada caleg perempuan, yaitu sekitar 16 % dari total
suara. Angka tersebut tentu stidak dapat dikatakan mewakili perempuan
dalam proses scaningnpartsiasipasi.
Suara perempuan adalah suara perempuan itu sendiri dalam proses demokratisasi.
Dimana perempuan mempunyai kebebasan untuk memilih sesuai dengan nuraninya
tanpa ada paksaan atau pengaruh dari pihak lain.Jika yang menjadi tolak ukur
adalah persentase pendatan kursi dalam PEMILU Legeslatif, maka angka itu masih
dalam tahap kuantitas. Dimana standar partisipasi diukur dalam angka masih menjadikan
polemik apakah keterwakilan perempuan akan membawa hasil positive dalam proses
pembelajaran politik menuju masyarakat madani (civil society). Yang terpenting
dalam proses partisipasi yang berkeadilan sosial adalah keberpihakan kebijakan
kepada kepentingan perempuan secara kodrati maupun kiprah dan perannya dalam
pembangunan. Disadari atau tidak perempuan mempunyai peran strategis dalam
proses pembangunan dan berperadaban. Dalam ajaran islam dijelaskan bagaimana
perempuan menjadi tulang punggung negara (hadits). Dari sisi fungsi tanpa
partisipasi alamiah pun sudah tampak manfa’at positivenya. Hanya saja yang
perlu ditakar adalah seberapa besar penghargaan bangsa ini terutama oleh kaum
Adam terhadap peran strategis yang diperankan oleh wanita. Dalam pembangunan
manusia seutuhnya yang berperadaban perempuan mempunyai empati yang tidak
dimiliki oleh kaum Adam. Bahkan literatur islam banyak menuliskan tentang
kekuatan wanita yang dapat merubah dunia, baik secara reformasi maupun
revolusi. Dalam kiprahnya tanpa perempuan peradaban akan ambruk seperti banguna
tnpa tiang penyangga. Perempuan dengan naluri keibuan akan jauh lebih sabar
dalam mendidik anak dibandingkan kaum Adam. Perempuan akan mampu membesarkan
anak tanpa lelaki disampingnya, sedang lelaki tidak mampu melakukan itu tanpa
wanita disampingnya. Dari sisi pembangunan moral puan perempuan manjadi toalk
ukur moral sebuah bangsa. Baik dan buruknya moral suatu bangsa akan dapat
diukur dari moral perempuannya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah
bagaimana keberpihakan pkebijakan yang tidak diskriminatif kepada perempuan.
Setiap warga negara memiliki posisi yang sama dari sisi hukum dan HAM bahkan
dari kehidupan yang layak termasuk untuk mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi secara
kodrati lelaki dan perempuan tidaklah sama. Dari kemampuan fisik dan kepekaan
batin mempunyai keunggulan masing-masing. Secara kodrati perempuan mempunyai
hak istirahat setiap bulannya. Maka istirahat bulanan tersebut juga adalah hak
setiap perempuan, apakah poisis dia sebagai istri ataupun sebagai wanita karir.
Dalam UU kepegawaian maupun perburuhan belum ada yang mengatur hak istirahat
bulanan dalam rangka haid bagi wanita. Nah persoalan mendasar seperti tentu
menjadi perhatian serius, tapi apakah sudah ada yang menyuarakan di gedung pas parlemen?
Jawabannya masih belum ada. Pembelaan terhadap kaum perempuan masih sebatas
kuantititas keterwakilan perempuan di parlemen dan presentasi jabatan politik
seperti Kepala Daerah dan Birokrasi strategis. Dalam kenyataannya hak perempuan
belum dibahas secara total., sehingga substansi tentang keperempuanan sebatas
angka keterlibatan saja.
Banyak persoalan terkait quota 30% caleg
perempuan setiap parpol. Di daerah yang sama caleg perempuan menjadi mutiara
yang tak berharga tapi tetap dikejar
karena UU yang mengatur mewajibkan memenuhi quota tersebut. Anehnya keluhan
kesulitan itu justru datang dari partai yang banyak menyuarakan emansipasi
wanita. Sementara dari partai yang tidak getol menyuarakan seperti
partai-partai berbasis islam hampir tidak ada yang mengeluh terkait
penjaringan. Dari fenomena ini, menunjukan bahwa wacana keterwkilan perempuan
hanya sekedar pepesan kosaong. Pihak yang menyuarakan tampak tidak siap dengan
konsekuensinya. Sementara partai yang dalam gerakan akar rumputnya mapan
cenderung terorganisir dan memiliki kemapanan dalam penjaringan. Meskipun ada
sekularisasi dalam proses interksi sosial, ternyata sisi positive sekularisasi
antara perempuan dan laki-laki ternyata membuat partisipasi perempuan manjadi
lebih siap. Dalam ajaran islam fundamentalis sangat menghargai hijab bagi
laki-laki dan permpuan. Sebagai contoh untuk memperhatikan hal-hal yang privasi
bagi perempuan dalam pelayanan medis islam mewajibkan ada dokter laki-laki dan
dokter perempuan di spesialisasi yang sama agar setiap pasien dapat dilayani
dengan baik. Atau dalam komunitas pesantren fundamentalis Santriwati harus
diajar oleh ustadzah dan santri harus diajar oleh ustadz. Aturan ini akan
mengarah pada tanggung jawab laki-laki dan perempuan untuk menjadikan kewajiban
individu untuk membekali diri dalam memenuhi kebutuhan sistemnya.
Nah dalam menyikapi partisipasi perempuan
dalam demokratisasi perpolitikan Indonesia perlu dimulai dari ruang lingkup sosial
yang kecil seperti sekolah/pesantren. Dalam sistem klasik telah memberikan
ruang gerak yang besar dangan adanya sekularisasi gender. Dalam Sistem sosial
modern yang membawa arus liberalisasi dimana tidak ada lagi pendikotomian
antara laki-laki dan perempuan menjadikan perempuan sulit bergerak mengingat
jumlah perempuan jauh lebih banyak dibanding laki-laki, statistik sosial
menunjukan angka 1:5. Secara kodrati responden cenderang akan memilih lawan
jenis yang menarik hatinya. Jika responden kebanyak perempuan maka yang
terpiliha dalam penokohan kemungkinan besar adalah laki-laki. Dari hasil
pengamatan saya justru penokohan wanita banyak disuarakan oleh laki-laki dan
dipilih oleh laki-laki.
Dari pengamatan tersebut bahwa perilaku akan
dominan dalam proses penokohan. Sehingga sangat wajar jika keterwakilan
perempuan sangat minim, berdasarkan tingka laku para perempuan cenderung
memilih lakji-laki dari berbagai kriteria, mulai kharismatik, kemampanan
financial hingga ketampanan figur. Angka 16% suara perempuan yang diraih
tidaklah murni dipilih perempuan. Dari angk tersebut masih kalah jauh dengan
suara golput yang mencapai 20%.
Ada beberapa faktor dalam upaya mengejar
quota 30% caleg perempuan, antara lain :
a.
Kemapanan financial,
b.
Kemandiriana dalam berinteraksi pada saat sosialisasi,
c.
Sikap dan mental dalam menghadapi gesekan politik baik
dari eksternal maupu internal parpol.
Dalam
Stratifikasi gender tentu persoalan di atas akan mudah ditangani jika kiprah
perempuan dimulaui dari sekularisasi gender yang memaksa kaum perempuan untuk
memenuhi kebutuhan sosialnya, termasuk peran fungsional yang harus dipenuhi.
C. Optimalisasi Peran Perempuan dalam
Demokratisasi di Indonesia
Disadari atau
tidak bahwa komunitas perempuan adalah mayoritas. 80% penduduk indonesia adalah
perempuan jika didasrkan kepada rasio 1:5 antara penduduk laki-laki dan
perempuan. Dalam kenyataan kiprah perempuan tidaklah berimbang dengan
persentasi jumlah pada populasi penduduk. Kesadaran dalam berpolitik sebagai
bagian dari dunia sosial atas keterwakilan perempuan secara kuantitas (angka)
maupun kualitas (substansi keperempuanan) tentu harus dapat direalisasikan oleh
aksi nyata perempuan itu sendiri. Dalam penceraha menuju bangsa berperadaban
tentu pembangunan tidak dapat dilakukan oleh laki-laki saja. Perempuan dengan
peran strategisnya perlu mengambil peran. Ada hal-hal tertentu yang tidak akan
terpikirkan oleh politisi laki-laki yang sulit untuk diaspirasikan.
Dalam Alqur’an
sebagai kitab suci alqur’an begitu banyak ayat yang membahas tentang perempuan
bahkan ada surat khusus yang membahas perempuan yang terkait dengan perintah
bangkit sesuai dengan fungsi dan peran strategis dalam pembangunan, terutama
menuju bangsa yang beradab menuju masyarakat madani (civil society). Kesadaran
dalam berpolitik dan berdemokrasi harus dibangun sejak dini dengan menanam jiwa
musyawarah dalam setiap kebijakan yang dimulai dari keluarga, lingkungan
pendidikan dan akan berlanjut ke dunai sosialnya. Fenomena yang terjadi justru
eksploitasi perempuan dengan pakaina serba minim dengan mengumbar aurat seperti
model pada majalah-majalah yang tidak pantas, iklan seperti kendaraan mewah,
hingga ekspolitasi wanita di atas panggung. Jika tradisi ini dpertahanakan maka
ekspoitasi yang melanggar norma susila dan norma agama akan terus bergulir dan
dianggap seni meski kenyataannya adalah daya tarik bagi para penggemarnya yang
semuanya hanya diukur dari sisi bisnis saja.
Persoalan
seperti di ats hanya dapat disuarakan oleh para perempuan yang lebih paham akan
adab yang semestinya. Hak-hak perempuan seperti pra nikah dan pasca nikah/cerai
masih harus diperjuangkan. Berapa banyak kaum hawa harus membesarkan anak dan mendidiknya
yang semuanya berkonsekuensi anggaran/biaya dengan seorang diri tanpa ada
perhatian dari mantan suaminy yang secara hukum baik hukum agama maupun negara
mempunyai kewajiban yang tidak akan putus sampai anaknya dewasa. Persoalan
sosial seperti ini, akan tepat sasaran jika pembuatan kebijakan disertai dengan
perempuan pula. Meskipun perangkat hukum sudah ada, tapi kenyatannya fenomena
seperti penelantaran anak oleh ayah bologisnya masih saja banyak terjadi.
Dalam realita
seperti ini, peran wperempuan dalam panggung politik harus dioptimalkan agar
terjadi keseimbangan dengan upaya optimalisasi hak-hak perempuan itu sendiri sacara
glbal dan mendasar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peran serta
perempuan dala percaturan politk dalam mewujudkan bangsa yang beradab sebagai
proses demokratisasi harus mendapat perhatian serius. Keseriusan itu selain
kesadaran gender yang disadari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) juga
peran serta perempuan itu sendiri. Sebagai sasaran emansipasi, perempuan juga
harus menjadi agen emansipasi yang menjadi motor atas perubahan damal proses
demokratisasi.
B.
SARAN
Saran pembuat
tugas adalah adanya pembelajaran politk bagi perempuan sekaligus pemberdayaan
yang optimal demi terwujud masyarakat madani (civil society) yang berdasarkan
Pancasila. Dalam kehidupan yang penuh dinamika dan rawan terjadinya distosrsi
sosial sebagai dampak dari globalisasi, maka perempuan dengan populasi yang
menacapai 80% tentu mempunyai peranan yang tidak kecil. Masyarakat madani
(sivil society) adalah masyarakat yang mempuyai peradaban. Unsur-unsur
peradaban diikat oelh norma, mulai norma hukum, adat, morarl hingga susila.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar