Umat islam yang dipimpin oleh seorang Rasul di akhir zaman adalah umat yang cerdas dalam membagi urusan. Pembagian urusan yang proporsional adalah ciri dari kepribadian sorang muslim, sehingga adil dalam pembagian waktu adalah kewajiban yang harus diperhatikan. Sehingga umat islam menjadi umat pertengahan yang seimbang dalam segala hal. Alloh swt berfirman;
“ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang pertengahan,
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” ( Qs Al Baqarah : 143 )
Umat Islam adalah umat pertengahan yang disaksikan oleh umat lain. Mengapa tidak? konsep hubungan vertikal (habluminalloh) dan konsep hubungan horizontal (habluminannas) dikemas dalam sebuah kewajiban yang tidak ada pertentangan. Ditengah kewajiban beribadah datang juga perintah untuk bekerja dan berbuat untuk dunia. Sehingga antara doktrin rasio tidak akan ada pertentangan. Semuanya akan berjalan sesuai dengan kadar yang diperlukan. oleh sebab itu seorang muslim harus mempunyai keunggulan komparatif dalam menggabungkan kedua urusan (dunia dan akhirat) secara proporsional. Berikut adalah keunggulan komparatif yang harus dimiliki setiap pribadi muslim :
1. Seimbang antara ilmu dan amal
Setiap amalan yang disyariatkan baik yang wajib, sunah ataupu sekedar mubah semuanya memiliki landasan teori dan konsep yang jelas. Ada perintah, anjuran atau pembiaran. Begitu juga dengan larangan apakah haram, makruh atau subhat/mubah tentu ada landasan teori yang mengatur sebab pelarangan tersebut. Semua alasan perintah dan larangan akan ada pada dalil naqli dan faedahnya akan didapatkan pada dalil naqli. Namun demikian dalam penyikapan sebuah perintah tentu harus mengedepan wahyu (illahiyah) dari pada ro'yu (akal). Dalam Seorang muslim tidak boleh hanya pandai berargumen tanpa ada aksi nyata (amaliyah) yang mengikuti pengetahuaannya tentang agama Alloh. Orang seperti ini tentu sangata dimurkai oleh Alloh swt sebagaimana difirmankanNya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ
اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
“ ( Qs Ash Shof : 2-3 )
Orang yang senantiasa mengatakan sesuatu tentang islam tetapi tidak diikuti dengan perbuatan adalah sangat dibenci oleh Alloh. Seorang yang mengatakan sesuatu tentang Agama Alloh adalah ia telah berdakwah dengan lisannya. Jika kita mengambil perumpamaan seorang guru yang memberikan wejangan kepada muridnya, maka tugas terberat adalah ketika sang guru harus menjadi murid pertama dari lisannya. Orang selalu berbicara tentang Agama Alloh tapi tidak diikuiti oleh amalan nyata maka orang tersebut telah terjebak pada keunggulan ilmu dan berkutat pada teori belaka. Sehingga yang terjadi adalah agama sebagai imajinasi kosong tanpa ada bayangan nyata. Terkadang kita menyaksikan banyak orang berdiskusi tentang islam berikut keindahannya atau seminar yang bertajuk islam, akan te tapi semua itu akan menjadi angan dan khayalan tanpa ada gerakan untuk membuat kesadaran dalam kehidupan beragama (islam). Jika seorang muslim menjadi penganut teori belaka, apa bedanya dengan orang Yahudi yang Alloh berikan banyak ilmu berikut kecerdasan, namun ilmu dan kecerdasan yang mereka miliki tidak untuk membangun syi'ar agama Alloh, justru dengan ilmu dan kecerdasan yang Alloh berikan malah dipergunakan untuk merusak alam, seperti membuat Tuhan tandingan (Uzair) dan melakukan kemungkaran dengan menghina bangsa selain Bani Israel dan mengklaim hanya bangsanyalah yang berhak atas kerasulan.Sehingga mereka disebut golongan yang dimurkai (Almaghdub).
Seorang muslim juga tidak boleh berkutat dengan memperkaya amalan belaka tanpa diawali dengan ilmu. Karena pada prinsip syariat tidak akan diberlakukan sampai datang perintah yang nyata atas syariat tersebut. Jadi sebelum beramal tentu harus mempelajrari terkebih dahulu perintah/larangan dan alasan tentang perintah itu hingga tata cara pelaksanaannya agar tidak menyimpang dari ajarana yang telah digariskan oleh Alloh (Wahyu) dan Rasulnya (Hadits). Jika kita bangga dengan amalan yang kita lakukan dan terus melakukannnya tanpa ada upaya menggali ilmunya maka apa yang kita lakukan adalah sia-sia. mengapa tidak tidak menutup kemungkinan kesesatan akan menimpa pelaku ibadah (abid). jika demikian maka kita tergolong ke dalam orang yang Sesat (Adhdholiin) seperti yang kabarkan Alloh dalan surat Al Fatihah ayat terakhir. Jika demikian maka kita tidak beda dengan umat nasrani yang kaya amalam tapi enggan mencari tahu alasan amalan yang mereka lakukan
Kedua : Seimbang antara rasa takut dan harapan.
اهدِنَــــا
الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ
عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “ ( Qs Al Fatihah :
6-7 )
Kedua : Seimbang antara rasa takut dan harapan.
Seorang muslim di dalam hidupnya tidak boleh selalu
diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa yang selama ini dikerjakannya secara
berlebihan, sehingga menimbulkan rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan
dari Allah swt. Sebaliknya pula, dia juga tidak boleh berlebihan di dalam
mengharap rahmat dan ampunan Allah sehingga meremahkan dosa-dosa yang selama
ini dia kerjakan, bahkan menganggap enteng dosa besar dengan dalih bahwa Allah
Maha Pengampun.
Seorang muslim yang baik adalah yang menggabungkan
antara kedua hal di atas, yaitu menggabungkan antara rasa takut terhadap
siksaan Allah karena dosa-dosanya dan dalam waktu yang sama, dia sangat
mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya. Dua hal ini merupakan dua sayap orang
muslim yang baik, sehingga dengan keduanya dia mampu terbang ke angkasa dengan
bebas dan penuh percaya diri. Jika salah satu dari kedua sayap itu tidak ada,
maka secara otomatis dia akan terjatuh di jurang kehancuran di dunia dan di
akherat kelak. Allah swt telah menggambarkan dengan indah kedua hal
tersebut yangterdapat dalam diri seorang muslim yang baik.
أُولَـئِكَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” ( Qs Al
Isra’ : 57 )
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Ketiga : Seimbang di dalam menjalankan ajaran agama,
sehingga tidak bersikap berlebihan ( Ifrath ) dan juga tidak bersikap meremehkan
( Tafrith ).
Seorang muslim di dalam hidupnya tidak boleh terlalu
berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu melampaui batas dari apa
yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Tidak boleh – umpamnya – dia
berlebih-lebihan di dalam melaksanakan sholat tahajud sehingga tidak ada waktu
tidur sama sekali, akhirnya pagi hari dia dalam keadaan lemah dan kusut, serta
tidak semangat menjalani kehidupan sehari-hari karena belum istirahat semalam
penuh. Begitu juga seorang muslim tidak boleh – umpamanya- melakukan puasa
ngebleng ( puasa tiap hari ) tanpa berbuka sedikitpun, atau membujang
selamanya, tidak mau menikah dengan seorang perempuan dengan dalih bahwa
menikah itu akan melalaikan ibadahnya.
Itu semua adalah bentuk-bentuk berlebihan di dalam
menjalankan ajaran agama yang dilarang di dalam Islam. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk selama seimbang di dalam ibadah dan amalannya. Dalam suatu hadist
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata :
جَاءَ
ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ
نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي
أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ
وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ
الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka
merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada
apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau
sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah
seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.”
Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr
(setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku
akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian datanglah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian
berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling
takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan
juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang
benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” ( HR Bukhari, no : 4675 )
Dalam hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah
saw bersabda :
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ
مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah
seseorang ( mempersulit diri ( berlebih-lebihan) di dalam mengamalkan agama
ini, kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah
lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan
minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah
(berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((berangkat di waktu
malam) .” ( HR Bukhari, no : 38 )
Allah swt juga melarang umat-umat terdahulu untuk
tidak berlebihan di dalam mengamalkan agama, sebagaiman larangan Allah kepada
ahlul kitab di dalam firman-Nya :
قُلْ يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ
تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا
وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” ( Qs Al Maidah : 77
)
Disamping larangan untuk berlebih-lebihan di dalam
melaksanakan ajaran agama Islam ini, seorang muslim dituntut juga untuk tidak
meremahkan dan bermalas-malas di dalamnya. Jadi harus seimbang dan bersikap
wajar.
بارك الله
لكم في القرآن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم فاستغفروه
إنه هو الغفور الرحيم .
Khutbah Kedua :
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Pada kesempatan khutbah kedua ini, saya ingin
melengkapi apa yang sudah saya sampaikan pada khutbah pertama tentang bentuk-bentuk
kesimbangan di dalam hidup seorang muslim.
Keempat : Kesimbangan Antara urusan Dunia dan Akherat.
Seorang muslim yang baik, dituntut untuk memikirkan
dan mempersiapkan diri untuk mencari bekal yang akan dibawanya ke alam akherat
kelak, dan di waktu yang sama dia tidak boleh melupakan keberadaannya di dunia
yang dia jalani ini. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan” .( Qs Al Qashash : 77 )
Ayat di atas memberikan isyarat kepada kita tentang
konsep keseimbangan dalam hidup seorang muslim. Diantaranya adalah memadukan
antara kepentingan dunia dan akherat sekaligus. Oleh karenanya, tidak boleh
seorang muslim hanya mementingkan kehidupan akherat saja, tanpa pernah
memikirkan kehidupan dunianya.
Sangat tidak dibenarkan apa yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin yang aktivitasnya hanya duduk-duduk di pojok-pojok
masjid bermunajat kepada Allah, berdzikir, berdo’a kepada Allah tapi pada saat
yang sama mereka tidak bekerja mencari nafkah untuk istri dan anaknya, tidak
bergaul dengan masyarakat serta menjauhi kehidupan dunia yang kita
diperintahkan untuk memakmurkannya. Bahkan ironis lagi, mereka bergantung
kepada belas kasih orang lain di dalam mempetahankan hidup mereka padahal
mereka mampu bekerja.
Di sisi lain, kita dapatkan sebagian kaum muslimin
yang lain disibukkan dengan mengumpulkan perhiasan dunia dan mengumbar hawa
nafsunya dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang semu. Mereka menghabiskan
waktu mereka untuk memburu harta, tanpa ada sisa waktu sedikitpun untuk
memperbaiki agama dan kehidupan akherat mereka, bahkan tidak waktu untuk istri
dan anak-anak mereka.
Sikap yang paling tepat adalah memadukan antara
kepentingan dunia dan akherat sekaligus, mencari dunia tanpa megorbankan akherat
dan memperhatikan akherat tanpa mengabaikan kehidupan dunia.
Rasulullah saw pernah mengajarkan kepada kita do’a
untuk kepentingan dunia dan akherat. Dalam hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya
ia berkata :
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ
لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي
فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ
الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ
كُلِّ شَرٍّ
“Rasulullah saw pernah berdoa sebagai berikut: “Ya
Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku;
perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku
akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini
mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku
sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!” ( HR Muslim, no : 4897 )
Mudah-mudahan yang sedikit bermanfaat bagi kita semua,
amien yang rabbal ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar