Minggu, 08 Maret 2015

Birokrasi Dari Masa ke Masa

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam bidang pemerintahan, karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
 Birokrasi Menurut Weber

Pada massanya de Gournay, birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, karena pada waktu itu para birokrat seperti pejabat, sekretaris, inspektur, dan juru tulis lebih dipentingkan untuk melayani raja/penguasa, bukan untuk melayani kepentingan umum.
Weber menekankan perlunya legitimasi sebagai dasar sistem otoritas, serta bagaimana ciri-ciri staf administrasi yang sesuai dengan konsep birokrasi menurut Weber.
Menurut Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana dalam birokrasi memerlukan persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat, sedangkan demokrasi mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Konsep Modern tentang Birokrasi:
Birokrasi sebagai Organisasi Rasional, sebagai Inefisiensi, dan Kekuasaan yang Dijalankan Pejabat. Ada 7 kelompok konsep birokrasi modern, birokrasi sebagai organisasi nasional, birokrasi sebagai inefisiensi organisasi dan birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Konsep birokrasi menurut Weber adalah birokrasi sebagai Administrasi Negara, birokrasi dengan administrasi yang dijalankan oleh pejabat, birokrasi sebagai sebuah organisasi, dan birokrasi sebagai masyarakat modern.
Birokrasi Masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
Pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah dikenal konsep birokrasi serta pembagian tugas. Namun demikian raja masih dianggap yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuasaan secara mutlak masih berada di tangan raja.
Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Masing-masing kerajaan daerah diberi otonomi penuh dan memiliki perangkat pemerintahan yang lengkap, namun terdapat kewajiban-kewajiban tertentu kepada pemerintah.
Birokrasi pada Masa Kerajaan Kutai dan Mataram
Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura merupakan gabungan antara kerajaan Kertanegara dan Kutai Martapura Keman (Mulawarman). Punggawa diserahi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, di mana pengawasannya ditugaskan kepada Menteri. Sifat pemerintahan tetap sentralistis dan terpusat di tangan raja.
Sedangkan pada masa Kerajaan Mataram, raja dibantu oleh seorang Patih dan para penasihat. Birokrasi pemerintahan diserahkan kepada Wedana, untuk mengawasi masalah keraton, baik yang menyangkut keuangan, keprajuritan, dan pengadilan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Mataram menggunakan cara kekuasaan, memaksa orang-orang kuat untuk tinggal di keraton, dan cara perkawinan.
Birokrasi pada Masa Penjajahan Belanda
Tidak semua orang dapat menduduki jabatan sebagai pangreh praja sehingga seseorang perlu magang (pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pangreh praja di mana kalau perlu mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya. Jika oleh priyayi atau atasan dinilai para pemagang itu tidak pantas jadi priyayi, ya tidak akan diangkat.
Dalam hubungan bawahan-atasan/priyayi maka tampak ada penghormatan yang berlebihan, misalnya jika priyayi rendahan berkunjung ke pejabat yang lebih tinggi maka harus pakai pakaian adat, sendalnya dilepas, dan sebagainya. Atribut kepangkatan sangat ditonjolkan, misalnya berkunjung ke suatu tempat disertai pengiring lengkap dengan payungnya.
Lambat laun banyak priyayi muda yang mendapatkan pendidikan lebih baik walaupun dengan didikan ala Eropa, misalnya tinggal bersama keluarga Eropa murni, sekolah di sekolah Belanda. Walaupun ada ketakutan dari pihak Belanda tentang pejabat pribumi yang terlalu maju sehingga akan berani dengan pejabat Belanda.
Mulai akhir abad ke-19, sudah muncul adanya kesadaran mengenai pola hubungan antara rakyat biasa dan priyayi atau antara pangreh praja dengan Binnenlandsch Besturr (BB) yang lebih baik, dengan lebih memfungsikan pejabat sebagai pemimpin rakyat.
Pemuda pribumi pada akhir abad ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah memusingkan Hindia Belanda sendiri.
Birokrasi sebagai Lalu Lintas Tindakan Kelompok Strategis
Ciri-ciri kelompok strategis dikenali pada kecenderungannya, yaitu menguatkan dan mengembangkan hasil pengambilalihan di satu pihak, serta memusatkan sasaran pengambilalihan kepada sarana produksi, sarana kekuasaan dan nilai-nilai, atau dengan kata lain kepentingan ekonomi kekuasaan, di pihak yang lain. Kelompok strategis ini terbentuk dalam suatu tindakan individu-individu yang diikat oleh kepentingan-kepentingan bersama, yaitu melaksanakan pengambilalihan hasil-hasil tersebut di atas, dalam suatu sistem politik tertentu. Ada dua acuan pokok kegiatan kelompok strategis yaitu, hibridisasi dan koalisi. Selanjutnya tanggung jawab analisis kelompok strategis meliputi, baik struktur intern suatu kelompok masyarakat, maupun proses terjadi, tumbuh dan hancurnya suatu kelompok strategis. Kemudian pemeriksaan kegiatan kelompok strategis ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data pertumbuhan, memisahkan mana yang merupakan kebetulan dan mana yang merupakan petunjuk keberhasilan atau kegagalan tindakan kelompok, serta perbandingan tipe-tipe kelompok strategis.
Masyarakat yang kuat terus-menerus memperbaiki diri. Masyarakat demikian cenderung memelihara kepekaan dalam mengenali dirinya, pertama sebagai pencapaian, setelah itu sebagai sisa-sisa masa lalu yang harus diperbaiki dan akhirnya, sebagai hasil evaluasi terhadap pencapaian masa lalu beserta hasil penolakan terhadapnya, dalam kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya. Beberapa faktor menguatkan kelompok masyarakat termasuk norma-norma dan adat istiadat, beberapa lagi membongkarnya termasuk harapan untuk melakukan perbaikan. Ada proses perubahan yang terjadi secara kebetulan, tetapi suatu rencana perubahan dapat dibuat dengan sengaja oleh para pejuang atau penyelenggara perubahan. Di pihak yang lain adat istiadat dan norma-norma dapat masuk dalam jajaran penghambat perubahan, sedangkan cita-cita, harapan dan rencana ke depan menjadi perangsang untuk mempercepatnya. Ancaman serta pengaruh dari luar dapat pula menghambat atau memperlancar suatu perubahan. Kemudian suatu tindakan selalu didahului oleh putusan strategis yang telah masak dipertimbangkan sebelumnya. Tindakan strategis agaknya menjadi jalan keluar evolusioner dalam kemapanan suatu masyarakat
Sejalan dengan perkembangan kapitalisme, muncul birokrasi dalam lingkungan administrasi pemerintahan. Birokrasi adalah tipe kekuasaan legal yang paling murni. Dalam birokrasi ketergantungan pribadi lenyap, digantikan oleh peraturan-peraturan berdasarkan undang-undang. Norma-norma merupakan sumber kekuasaan birokrasi. Di pihak lain kekuasaan politik dalam birokrasi tidak langsung merupakan kekuasaan ekonomi, sekalipun dapat saling pengaruh mempengaruhi. Keterpisahan fungsi-fungsi umum negara dari kekuasaan-kekuasaan pribadi penguasa feodal merupakan kenyataan yang sangat penting dalam kerangka kerja kelompok-kelompok strategis. Dengan ini kegiatan kelompok strategis tidak perlu berurusan dengan kepentingan-kepentingan pribadi lagi, melainkan dengan birokrasi yang lebih netral, dapat diperhitungkan dan diandalkan tindakannya. Dalam administrasi pemerintahan kolonial birokrasi dicemari dengan diletakkannya kegiatan pemerintahan di bawah kepentingan ekonomi kapitalis.
Birokrasi dan Perubahan Sosial
Keadaan suatu masyarakat tidak pernah tetap akan tetapi akan selalu ada perubahan baik lambat maupun cepat dan sebaliknya, gejala yang tetap dari suatu masyarakat adalah perubahan.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat modern dapat terjadi secara spontan, namun dalam penerapan suatu kebijakan sosial yang baru peranan birokrasi sangat dominan. Faktor penyebab perubahan sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri (intern) serta dari luar (ekstern).
Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulai berkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan.
Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulai berkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan.
Peranan Birokrasi dalam Pembangunan
Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian yang penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang berfungsi untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat integrasi nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai agen sosialisasi politik. Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi mempunyai peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi nasional. Ketiga peran di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan.

Birokrasi dan Perkembangan Demokrasi
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang dicita-citakan oleh banyak negara di dunia. Ia menjanjikan keadaan dunia yang lebih baik dan adanya tanggung jawab masyarakat dalam pemerintahan. Birokrasi memiliki berbagai macam dasar moral di dalamnya, yaitu keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas persetujuan (musyawarah), dan prinsip perbaikan (betterment).
Birokrasi adalah media yang dapat berperan dalam pengembangan demokrasi, ia mampu menjembatani kebijakan administratif dari penguasa dengan aspirasi rakyat. Dalam praktek birokrasi dapat menimbulkan keadaan yang demokratis maupun anti demokrasi, tergantung kepada sifat keterbukaan atau ketertutupan birokrasi itu sendiri. Semakin terbuka birokrasi maka kadar demokrasi semakin meningkat, demikian sebaliknya.
Sumber dari adanya birokrasi salah satunya adalah adanya prinsip demokrasi. Oleh karena itu, sebenarnya tidak terdapat kontradiksi yang mutlak antara birokrasi dengan demokrasi. Birokrasi dianggap mempunyai peran yang penting dalam dunia modern. Ia dapat berperan sebagai alat untuk memperluas praktek demokrasi.
Pembinaan Karier dan Etika Birokrasi Pemerintahan
Pembinaan karier dalam birokrasi pemerintahan ditujukan guna menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan aparat birokrasi sebagai unsur aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, telah meletakkan landasan yang kokoh untuk mewujudkan pegawai negeri seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban, hak pembinaan pegawai negeri sebagai salah satu kebijaksanaan dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang pemerintahan.
Untuk mendorong prestasi pegawai negeri, mereka diberi penghargaan dalam bentuk kenaikan pangkat, penempatan pada jabatan tertentu dan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengalaman maupun kemampuan seorang pegawai negeri.
Pembangunan Birokrasi dalam Konteks Pembangunan Ekonomi di Indonesia.
Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan lainnya. Dalam upaya membangun birokrasi Indonesia yang modern, acuan yang digunakan adalah model birokrasi legal-rasional. Namun dalam pembangunan selanjutnya, tipe birokrasi legal-rasional yang dihasilkan berbeda dengan apa yang dikonsepsikan Weber, karena masuknya unsur-unsur birokrasi tradisional-patrimonial. Pengaruh sejarah dan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia ternyata menghasilkan corak birokrasi yang khas Indonesia, di mana unsur-unsur tradisional, modern dan kepentingan-kepentingan politik praktis membaur di dalamnya.
Birokrasi pada masa Orde Baru memainkan peranan yang sangat sentral dalam proses pembangunan ekonomi sehingga terkesan “meninggalkan” unsur-unsur lain yang seharusnya terlibat dalam setiap tahap pembangunan. Karena dominannya peran birokrasi maka partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja dari kiprah birokrasi dalam pembangunan, dan segala sesuatunya terkesan birokratis (lamban, kaku, tertutup). Sehubungan dengan itu maka desakan untuk semakin mengupayakan debirokratisasi, deregulasi politik dan demokrasi ekonomi semakin kuat.
Model Pembangunan Teknokratik Birokratik
Oleh karena birokrasi ditempatkan pada posisi yang dominan maka berarti lembaga lain di luar birokrasi menjadi lemah. Dalam posisi yang demikian, birokrasi menjadi tidak fungsional untuk melayani masyarakat. Agar fungsi birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat, birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi ini tidak dapat sepenuhnya dicapai, namun birokrasi semestinya mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum. Ia lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarakat” daripada sebagai “abdi negara” atau setidaknya ada keseimbangan di antara keduanya.
Untuk mencegah terbentuknya neo-tradisionalisme birokrasi, perlu dikembangkan model birokrasi adaptif yang intinya adalah menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat, terbuka terhadap gagasan-gagasan inovatif, peka terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat serta meningkatkan produktivitas pelayanan.
Inefisiensi, Nepotisme, dan Korupsi
Banyak orang beranggapan birokrasi sama dengan inefisiensi organisasi. Gejala-gejala atau petunjuk adanya birokrasi antara lain seperti terlalu percaya kepada preseden, kurang inisiatif, penundaan, banyak formulir, serta duplikasi usaha dan departementalisme.
Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas birokrasi dan kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang karena memang sedang giat-giatnya membangun.. Korupsi tidak begitu saja terjadi tapi pasti ada penyebabnya seperti berlakunya kewajiban-kewajiban tradisional kepada keluarga, faktor ekonomi, sifat demonstration effect, dan sebagainya sehingga dampak korupsi jelas merugikan masyarakat dan pemerintah.
Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien.
Sebenarnya luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi. Sektor swasta juga belum banyak berperan dalam kegiatan pembangunan sehingga peran pemerintah lebih dominan.
Tulisan ini dikutip dari :https://massofa.wordpress.com/2011/10/23/birokrasi-dari-masa-ke-masa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar