Minggu, 08 Februari 2015

SHALAT BERJAMA’AH ADALAH MINIATUR KEPEMIMPINAN DALAM BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN



Imam shalat adalah sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia dan memiliki tanggung jawab yang sanggat besar. Tidak setiap orang dapat menjadi imam dalam shalat karena harus memiliki kompetensi tertentu yang sudah menjadi konsesus ulama fiqih. Oleh karena itu, orang yang menjadi imam adalah orang yang terbaik diantara yang lainnya bukan berdasarkan lamanya hidup didunia tetapi kualitas individu yang dimiliki yang menyebabkan seseorang bisa menjadi seorang imam. Begitupun dengan seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang lebih dari yang lain, sehingga bisa membuat visi dan misi yang bisa dilaksanakan oleh para pembantu serta kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh pembantunya. Dan hasilnya kemajuan atau kesejahtraan yang dicita-citakan akan dapat tercapai.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika seorang imam dan pemimpin dipilih bukan berdasarkan kompetensi yang ditetapkan tapi berdasarkan kekayaan dan kekuatan uang atau besarnya uang yang diberikan kepada masyarakat. Maka kemajuan yang diharapkan sulit karena pemimpin yang dipilih tidak memiliki keahlian dibidangnya, begitupun dengan seorang imam shalat bukan tidak mungkin akan menyebabkan tidak sahnya proses ibadah (shalat) karena kesalahan yang dilakukan atau diperbuat sang imam.
Kekeliruan Imam dan Pemimpin
Berbicara kekeliruan setiap orang meski pernah mengalami namun jangan sampai diulangi kembali, agar kredibelitas tidak tereduksi karena sering berbuat yang tidak sesuai dengan aturan janji yang disampaikan. Hal yang patut menjadi teladan dalam proses melaksanakan shalat berjamaah untuk seorang pemimpin atau pejabat publik. Ketika seorang dipilih menjadi seorang imam shalat maka semua mematuhi gerakan dan arahan dari imam tidak boleh ada yang membantah bahkan memprotes, selama semua itu dalam koridor aturan agama dan tidak melakukan kesalahan yang fatal.
Namun ketika imam melakukan kesalahan atau keluar dari koridor yang telah ditentukan imam harus dan akan diingatkan oleh makmun (umat) yang ada dibelakangnya. Dan hal ini dilakukan agar proses ibadah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia. Yang menjadi imam ketika diingatkan tidak boleh dan tidak akan marah namun menyadari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Kita bandingkan dengan pemimpin yang ada di Negeri ini apakah seperti imam dalam shalat atau sebaliknya. Ketika masyarakat mengingatkan kesalahan pemimpinnya justru pimpinan kita membela diri dan balik mengkritik, bukan menyadari dan berterima kasih telah diingatkan. Sejatinya masyarakat itu mencintai pemimpinnya dan untuk kebaikan seluruh yang dipimpinnya. Namun gengsi dan arogansi telah mengalahkan filosofi shalat dalam proses kepemimpinan seseorang. Ini fakta bahwa shalat yang dilakukan hanya sebatas pada proses ritual semata belum pada tataran aplikasi nyata dan diterapkan dalam kehidupan sosial.
Metode Mengingatkan
Dalam shalat ada metode mengingatkan seorang imam apabila melakukan kekeliruan dan dengan maksud bukan untuk menjatuhkan atau menghinakan imam. Sebaliknya seorang imam justru harus peka terhadap kesalahan yang dilakukannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ketika seorang imam membaca keliru satu ayat saja dalam bacaan shalatnya maka dengan cepat orang yang berada dibelakang mengingatkan, jadi orang yang ada di belakang imam atau wakil imam harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi untuk menjadi seorang imam. Dan ketika keliru dalam gerakan shalat maka makmum yang berada dibelakang harus mengingatkan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan yaitu subhanallah  dan imam harus menyadari kekeliruannya dan kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Begitu indanya kebersamaan dalam shalat ada proses kebersamaan dan saling mengingatkan antara pimpinan dan orang yang dipimpin.
Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka filosofi dalam shalat berjamaah ini dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan bernegara dan dijadikan acuan oleh seorang pemimpin. Dengan melihat metode mengingatkan dalam shalat maka dapat takwilkan atau diqiyaskan ketika seorang pemimpin keluar dari aturan yang sebenarnya maka seorang wakil harus selalu mengingatkan agar kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Hal ini semata-mata dilakukan dengan ikhlas dengan tujuan untuk seluruh orang yang dipimpin. Maka ketika proses mengingatkan tersebut tidak boleh ada tendensi apapun, namun murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama. Sebaliknya seorang pemimpin harus menyadari itu dan jangan arogan merasa orang yang paling benar sendiri.
Imam dan Ketegasan Pemimpin
Seorang imam shalat memiliki ketegasan dalam membawa jamaahnya dan telah memiliki indikator yang sangat jelas dan memiliki batasan yang jelas. Jadi semua makmum yang mengikutinya merasa yakin dan percaya apa yang dilakukan oleh imamnya. Maka dari itu seorang imam tidak boleh was-was atau ragu-ragu, seorang imam harus memiliki keyakinan yang nyata dan ketegasan sehingga makmum menjadi percaya kepada imam dan ibadah yang dilaksanakan sah dan benar.
Ini berlaku bagi seorang pemimpin yang harus memiliki ketegasan dalam memimpin bangsa agar rakyat yang dipimpinnya memiliki keyakinan bangsa ini akan maju. Namun akan menjadi sebaliknya apabila pemimpin peragu maka rakyat yang dipimpinnya akan kurang yakin dengan kemampuan yang sesungguhnya. Perlu diingat seorang pemimipin juga harus memiliki indikator yang jelas dalam mencapai program-programnya supaya masyarakatnya bisa mengevaluasi dan mengawasi. Dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pembantu pemimpin dapat diminimalisir mungkin. Tulisan ini bukan untuk mencari kesalahan seorang pemimpin ataupun yang lainnya hanya kita dapat mengambil pelajaran dari proses Ibadah Shalat yang selalu kita lakukan.
Shalat yang selama ini kita lakukan hendaknya dapat kita ejawantahkan dalam prilaku sosial sehingga fungsi shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat direalisasikan. Sejatinya juga perintah shalat dalam al-Qur’an dengan jelas yaitu disuruh menegakan shalat, hal ini kalau kita maknai secara mendalam adalah bukan hanya dilakukan tapi dapat difahami filosofi dari nilai-nilai shalat tersebut. Yang pada akhirnya segala apa yang dilakukan dalam shalat dapat dimanifestasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka kalau sudah memahami nilai-nilai shalat dan dapat dilaksanakan dengan baik bukan tidak mungkin fungsi shalat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dapat terwujud.
Ketika semua itu terwujud maka segala bentuk ketidakjujuran yang menggerogoti kepercayaan bangsa ini terhadap pemimpinnya akan hilang dengan sendirinya. Disinilah sesungguhnya fungsi agama dalam kehidupan nyata, sehingga agama tidak difahami hanya sebatas ritual semata tetapi dapat diejawantakan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya dapat menjadi kontrol kehidupan sosial masyarakat kita.

Negara baldatun toyibatun warrofun ghofur tidak hanya sebatas selogan tapi dapat diwujudkan dengan nyata. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya keterlibatan seluruh steakholder masyarakat sehingga menjadi gerakan sosial yang massif, dan dapat merubah kehidupan kebangsaan kearah yang lebih baik. Kita masih memiliki harapan terhadap bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat dan disegani. Tidak perlu adanya formalisasi aturan agama dalam kehidupan bernegara tapi cukup mengamalkan filosfi shalat itu sendiri yang ada akan dengan baik dan tidak adanya pemakasaan terhadap umat Islam. Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik serta terbebas dari korupsi dan kebohongan yang terus dilakukan oleh seluruh rakyat dan pimpinannya. 
Tulisan ini dikutip dari : http://sulthan17.blogspot.com/2011/10/imam-shalat-dan-pemimpin.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar