Dalam teori evolusi dinyatakan bahwa manusia digolongkan ke dalam
ordo primata, hominidae (manusia kera; kera berjalan tegak). Para
pendukung teori ini menyatakan bahwa yang dianggap sebagai moyang
manusia adalah yang termasuk ke dalam genus Australopithecus, yang lebih
cocok disebut “manusia kera” daripada “manusia” pada umumnya. Kemudian
genus ini berturut-turut mengalami evolusi pada Australopithecus
Afarensis, dan berkembang menjadi Australopithecus Africanus yang pada
giliran selanjutnya berkembang menjadi Australopithecus Robustus.
Transisi dari genus ini adalah Homo Habilis dan Homo Erectus yang
menandai munculnya “manusia sebenarnya” atau genus Homo. Menjelang
munculnya manusia modern atau genus Homo Sapiens, para ahli menemukan
satu “makhluk” yang disebut Homo Neanderthalensis. Diperkirakan mereka
berkembang sekitar 110.000 tahun dari sekarang sampai munculnya manusia
modern atau manusia kontemporer yang disebut sebagai Homo Sapiens
sekitar 35.000 tahun sebelum sekarang.
Di dalam Al-Qur’an manusia pertama memang tidak diungkap secara
eksplisit. Tampaknya, mengurai asal-usul manusia pertama bukanlah tema
substantif al-Qur’an. Penulis sendiri tidak hendak menguraikan proses
penciptaan manusia dari sudut pandang biologis yang terdiri dari
rangkaian ekstrak atau saripati dan beragam unsur-unsurnya, tetapi dalam
tulisan ini yang dibahas adalah substansi penciptaan Adam sebagai
seorang khalifah dan kaitannya dengan peradaban manusia.
Adam sebagai Khalifah
Substansi dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 )
adalah penegasan bahwa sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi
khalifah di muka bumi ini. Kata “jaa`ilun” sebagai konstruksi isim fa`il
yang berarti subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun fi al-ardhi
khaliifah tidak harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka
bumi”. Seandainya arti ini yang dipahami, maka tidak ada khalifah
sebelum Adam. Konseksuensi logisnya, Adam adalah manusia pertama.
Seandainya frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai
isim fa‘il, maka hal itu mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah
terjadinya dialog dengan malaikat sebagaimana yang termaktub dalam ayat
tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, Adam
bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama yang
diciptakan Allah.
Kemudian, ayat-ayat tersebut memunculkan wacana bahwa seolah-olah
malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak terjang sang
khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan khalifah baru yang
bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan menghancurkan
tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa menduga-duga
kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan) melakukan
perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas perihal khalifah
versi malaikat yang dimaksud. Al-Qur’an dalam Q.s. Shaad: 67-73 dengan
tegas menyatakan untuk tidak memperpanjang bantah-bantahan ini.
Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa iblis atau jin sebagai khalifah
sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah
yang dimaksud adalah khalifah dari golongan jin yang diduga berbuat
kerusakan. Asumsi ini berdasarkan analisis ayat yang menerangkan bahwa
jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan jin
(Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2).
Benar bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan
Q.s. al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka—khususnya para jin—berperan
sebagai khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya
hanyalah praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata
ini diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan
semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di
muka bumi ini.
Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang hendak diciptakan Allah ini
adalah khalifah yang benar-benar berasal dari golongan manusia.
Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang telah menjadikan kamu
khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat ‘iqab-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (Q.s. al-An’am:
165).
Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah
pencipta para khalifah di muka bumi ini. Kata ganti orang kedua (dhamir
mukhatab) pada ja’alakum merujuk pada seluruh umat manusia. Menilik
pada keumuman lafadz ini, apabila dikaitkan dengan pertanyaan malaikat
tentang penciptaan khalifah, maka khalifah sebelum Adam adalah khalifah
dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-Adam” lain yang sebelumnya
diciptakan Allah dengan fungsi yang sama namun dengan karakter yang
berbeda; destruktif.
Adam dan Instalasi al-Asma’
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia
sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter “destruktif”
sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid
memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang
hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera).
Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya
perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau bersifat
kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara
itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah
untuk mengelola bumi ini.
Di sinilah letak diskontinuitas itu. Ternyata, kita tidak bisa
mengorelasikan fakta sejarah manusia (asal mula manusia menurut para
penganut evolusionisme) dengan asal-usul Adam. Ada banyak keterserakan,
sebagaimana yang dideskripsikan Michel Foucault, diskontinuitas dipahami
sebagai terserak dan berkecambahnya sejarah ide-ide dan munculnya
periode-periode yang begitu panjang dalam sejarah itu sendiri. Dalam
pengertian tradisional, sejarah semata-mata selalu tertuju pada
keinginan untuk menentukan relasi-relasi kausalitas, determinasi
sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan
kejadian yang terekam oleh manusia (The Archeology of Knowledge, hlm. 10).
Keterserakan ini yang menyangkut relasi-relasi kausalitas,
determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai
fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia. Celakanya, kita menganggap
bahwa data-data historis tentang bapak manusia itu dirasa cukup hanya
dengan ditafsirkan oleh data-data hadits yang sangat dipengaruhi oleh
kisah-kisah israiliyat (Bible). Seandainya kita hendak meneliti sejarah
penciptaan ini, meminimalisasi diskontinuitas dengan “comot sana comot
sini” dari data-data Biblikal bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak
awal al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Q.s. al-Baqarah: 37), suksesi
khalifah yang tidak berdasarkan kalimah Allah ke yang berdasarkan
kalimah Allah barangkali yang paling mendekati untuk mereka-reka praduga
ini. Allah hendak mengganti khalifah yang berperilaku destruktif yang
tidak berdasarkan pada hukum-hukum Allah dengan khalifah berperadaban
yang berdasarkan pada hukum-hukum Allah. Jadi, tegaslah bahwa para
hominid itu bukan khalifah.
Namun yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Q.s.
al-Baqarah: 30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah
untuk mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata
lain, Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum
Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya
kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah.
Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini segera
dilakukan. Instalasi ini adalah pembekalan pada diri Adam yang berupa
persiapan diri untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama, al-asma’
kullaha. Kalimat kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran
al-asma meliputi seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat)
benda-benda (Tafsir Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
Sementara itu, Imam al-Qurthuby menitikberatkan bahwa proses
pengajaran al-asma’ adalah pengajaran dalam bentuk dasar-dasar ilmu
pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm. 279). Hal ini
mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah diperlengkapi dengan
perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh identifikasi
nama-nama. Pengajaran bukanlah dengan mengajarkan penyebutan benda-benda
satu-persatu belaka, namun lebih pada pengidentifikasian yang
selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam. Adam-lah manusia rasional
yang pertama.
Proses instalasi ini dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada
anak cucunya dalam rangka mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’
adalah instalasi sendi-sendi pengetahuan sehingga Adam mampu
mengidentifikasi nama-nama seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah
yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus.
Adam mampu mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada
tahap yang mengagumkan malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai
pengetahuan sedikit pun kecuali apa yang telah diinformasikan Allah
kepada mereka, subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah
yang membuat malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan
pencapaian kemajuan ilmiahnya.
Tampaknya, diskontinuitas sejarah penciptaan Adam memang demikian
adanya. Al-Qur’an—justru—hendak menggerakkan hikmah di balik penciptaan
itu untuk selalu terus menerus berpikir dan menggunakan daya nalar
manusia di bawah bimbingan hukum Allah (kalimaatin) sebagaimana Adam
meletakkan dasar-dasar budaya dan peradaban di bawah bimbingan-Nya.
Sementara itu, membicarakan Adam sebagai tokoh sejarah (manusia pertama
atau bukan) tidaklah substansial dan tidak memberikan dampak apa-apa
bagi peradaban itu sendiri.
Yusef Rafiqi
Alumnus Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut (Angkatan IX); sekarang Dosen di FAI Universitas Siliwangi Tasikmalaya; dan pengasuh PP at-Tajdid Muhammadiyah, Singaparna, Tasikmalaya.
Alumnus Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut (Angkatan IX); sekarang Dosen di FAI Universitas Siliwangi Tasikmalaya; dan pengasuh PP at-Tajdid Muhammadiyah, Singaparna, Tasikmalaya.
tulisan ini diambil dari http://muhshodiq.wordpress.com/2009/03/31/adam-bukan-manusia-pertama-menurut-suara-muhammadiyah/