Konsep-konsep birokrasi secara awam
lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”, “kaku”, bahkan
“menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui
sejumlah kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain
merupakan stereotipe yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan
keabsahannya.
Pada materi ini, kita akan kembali
kepada tema awal maksud dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi yang
dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup
berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang
disodorkan Max Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh
Martin Albrow. Potret Indonesia
Max Weber on Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber
soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini
yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis
yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang
diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan
yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi
adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di
organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan
organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara
kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen
atau lembaga kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max
Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi.
Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa
yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji
Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini
berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada
Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh
Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu
pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara
yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar
“ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya
(ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
- tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
- tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
- jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
- aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
- anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
- pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
- administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
- sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas
dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan
bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke
sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber,
kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai
berikut:
- para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
- terdapat hirarki jabatan yang jelas;
- fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
- para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
- para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
- para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
- pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
- suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
- pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
- pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu
sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol
atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek
“disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem
legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan
dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami,
dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan
fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak
dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di
tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara
rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu
dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi,
yang meliputi point-point berikut:
- Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
- Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
- Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
- Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
- Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang
mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber
di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan
Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih apapun analisis manusia,
ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber akan birokrasi ini.
Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan pandangan
Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin Albrow (lihat
referensi).
Robert K. Merton. Dalam artikelnya
“Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan
birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas
(kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu
administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk
mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat
yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak
perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka
norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat
menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang
ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam
pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak
diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick
mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi.
Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi.
Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi
secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk
meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena
akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada
kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah
didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak
untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat
memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk
memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh
keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi
angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak
untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan
kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of
Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam
suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara
otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe
birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan
Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota
birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap
dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada
tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai
kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan
kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan
ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang
efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis
dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and
Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun
literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan
kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam
prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan
keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti
Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab
terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi sebagai mesin
rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi
teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes.
Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra
aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa
yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh
keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan
pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya
tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika
orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat
bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan
aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya
Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya
kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai
sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus
tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah
peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat
dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan
suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia
secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika
ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal
itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya
secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena
mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya,
Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu
harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya,
peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk
bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus
dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan
pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan
untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini
berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk
menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich,
seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun
menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena
mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber
terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi
militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan
pola kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya
The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus
berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam
lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung
pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena
itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui
seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat
mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan
menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng
keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang
efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph
Lapalombara. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara
non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi
lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di
Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha
tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di
Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi
Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok
bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional.
Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan
Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari
Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep
birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya
seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi.
Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna
menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.
Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi
rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional
di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan
jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai
organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara
teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan
utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi
yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan
yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika
Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow
memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia
menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis
(perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas
manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi.
Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur
dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada
preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan
(lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu
banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi
juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya
dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi
cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan
kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi
merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat
memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga,
seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem
politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia
mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem
administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam
suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah
struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang
menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu
terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut
birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai
administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk
organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat
disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern,
mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada
aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak
dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi
negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua
tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut
dikatakan modern.
Kesimpulan
- Pertama. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
- Kedua. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang lega-rasional.
- Ketiga. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
- Keempat. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah birokrasi.
- Kelima. Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.
- Keenam. Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1) Birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3) Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat modern.
Selanjutnya baca juga : http://yakub-fadilah.blogspot.com/2015/03/birokrasi-dari-masa-ke-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar