Menyimak pagi bersama khasnya aktivitas awalan: sang pedagang dengan
lapaknya, sang karyawan dengan berkasnya, mahasiswa dengan makalahnya,
pengangguran dengan harapannya, tukang rumput dengan guntingnya, nelayan
dengan lautnya, petani dengan musim tanamnya, polantas dengan
peluitnya, pengacara dengan kasusunya, dan lain-lain.
Itulah gambaran umum tentang muamalah. Interaksi manusia dengan
segala tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keduniaan. Interaksi ini
diatur dalam Islam dalam Fiqh Muamalat. Berbeda halnya dengan Fiqh
Ibadah, Fiqh Muamalat bersifat lebih fleksibel dan eksploratif. Hukum
semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil
yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada
awalnya mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi
manusia, seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri
dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan,
hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh
Muamalat dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada
hukum yang terkait dengan harta benda.
Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak
pernah terlepas dari kegiatan kebendandaan yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalat, walau para fuqaha (ahli
fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh
muamalah membahas hal berikut : teori hak-kewajiban, konsep harta,
konsep kepemilikan, teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari
jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan,
kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-meminjam,
perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang, jaminan,
perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah
tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin – edt), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh
muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5
hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan
berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi
yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB,
yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1. Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian
seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam
perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal
islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap
maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
(QS 2:219)
Dan Firman Allah swt dalam Srah Almaidah :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.
2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna
ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan,
secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
- Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan
kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan
lain-lain.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli
ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang
bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.
3. Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi
nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39
.Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada rang
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa : 160-161
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
5. Bathil“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.
tulisan ini dikutip dari www.fimadani.com. Untuk melihat teks aslinya silahkan klik di SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar